
Pernah gak kamu ngalamin ghosting? Atau malah kamu pelakunya?
Fenomena ini makin sering muncul di kalangan Gen Z, terutama di era digital sekarang. Tapi pernah gak kamu mikir: ghosting itu cuma masalah cinta-cintaan, atau bisa dilihat sebagai gejala sosial juga?
Yuk kita bahas bareng-bareng dari kacamata Sosiologi, biar gak cuma baper tapi juga paham!
Ghosting adalah ketika seseorang tiba-tiba menghilang dari kehidupan orang lain tanpa penjelasan apa pun, biasanya setelah ada hubungan intens entah itu pertemanan, pacaran, atau bahkan rekan kerja.
Fenomena ini sering terjadi di media sosial atau aplikasi chatting. Misalnya:
Kamu udah chattingan setiap hari, video call, bilang sayang-sayangan… eh, tiba-tiba dia ngilang. Gak ada kabar. Gak bales chat. Gak angkat telepon. Gone like a ghost.
Sebelum nyambungin ke ghosting, kita pahami dulu:
Gejala sosial adalah fenomena yang terjadi dalam kehidupan masyarakat dan bisa diamati. Biasanya muncul karena adanya perubahan sosial, nilai-nilai yang bergeser, atau interaksi yang terganggu.
Contoh gejala sosial:
Nah, apakah ghosting termasuk dalam daftar ini?
Jawabannya: YA, ghosting bisa dianggap sebagai gejala sosial.
Kenapa?
Di era digital, orang makin gampang berinteraksi secara instan. Tapi hubungan juga jadi lebih rapuh. Ghosting adalah bentuk baru dari putus komunikasi, yang dulunya butuh keberanian bicara langsung, sekarang cukup “mute notifikasi.”
Nilai kejujuran dan tanggung jawab dalam relasi makin tergeser sama prinsip “gue gak nyaman, ya gue pergi.”
Ada pergeseran dari nilai kolektivisme (komunikasi terbuka) ke individualisme (menghindari konflik).
Ghosting bisa bikin seseorang:
Dampaknya gak cuma ke individu, tapi bisa menular ke pola hubungan sosial di masyarakat. Orang jadi takut dekat dengan orang lain karena trauma ghosting. Ini bisa memicu gejala disintegrasi sosial dalam lingkup kecil (komunitas pertemanan).
Kita bisa lihat ghosting lewat beberapa teori:
Ghosting mengganggu proses pembentukan makna dalam hubungan. Ketika seseorang menghilang tanpa penjelasan, individu kehilangan arah dalam memberi makna terhadap relasi yang sudah terjalin.
Dalam masyarakat, setiap individu punya peran untuk menjaga solidaritas sosial. Ghosting bisa dilihat sebagai bentuk gangguan terhadap keteraturan sosial, karena menyebabkan ketidakseimbangan dalam hubungan sosial.
Kalau dikaitkan dengan kekuasaan dalam hubungan, ghosting bisa menjadi alat dominasi. Orang yang melakukan ghosting punya “kuasa” untuk memutus hubungan tanpa diskusi, dan meninggalkan yang lain dalam posisi tidak berdaya.
Beberapa faktor yang memengaruhi:
Sebagai bagian dari masyarakat, kita bisa mulai dari diri sendiri:
Meskipun terlihat sepele atau “biasa aja”, ghosting mencerminkan gejala sosial dalam kehidupan modern. Ia muncul dari pola interaksi baru, nilai yang berubah, dan dampaknya bisa besar bagi individu maupun masyarakat.
Jadi, lain kali kamu atau temanmu ngomongin soal ghosting, coba deh lihat dari sudut pandang sosiologi. Biar gak cuma baper, tapi juga melek sosial
Punya pengalaman soal ghosting? Ceritain di kolom komentar, yuk! Kita bahas dari sisi sosiologi bareng-bareng.
Kalau kamu suka bahasan kayak gini, jangan lupa mampir terus ke SmartSosiologi.com – tempat belajar Sosiologi yang seru dan gak ngebosenin!