Saya yakin, sebagian dari kita pernah ngerasain momen kayak gini: buka HP cuma mau ngecek notifikasi, eh tiba-tiba udah 2 jam scroll TikTok, padahal awalnya cuma niat lihat update teman. Tau-tau kita udah nonton video orang mukbang, terus pindah ke cewek cosplay jadi karakter anime, lanjut ke orang nyanyi lagu sedih, dan ditutup dengan video kucing nari sambil ada tulisan: “me escaping my responsibilities”. Otak kayak penuh, tapi nggak ngerti juga isinya apa. Nah, selamat datang di dunia “brain rot”.
Secara harfiah, brain rot bisa diartikan sebagai “pembusukan otak”. Tapi tentu kita nggak lagi ngomongin otak yang secara biologis busuk. Brain rot ini istilah slang dari internet, khususnya dipopulerkan di komunitas Gen Z, yang dipakai untuk ngegambarin kondisi saat otak kita kebanyakan konsumsi konten dangkal, absurd, bahkan nggak masuk akal, sampai kita merasa bego sendiri.
Contohnya? Konten yang nggak ada faedah tapi susah berhenti ditonton: editan suara chipmunk, meme aneh yang nggak ada konteksnya, video orang random joget di kamar, dan lain-lain.
Di satu sisi, lucu sih. Tapi kalau berjam-jam dalam sehari kita habiskan untuk konsumsi konten-konten kayak gitu, efeknya bisa panjang. Nah, di sinilah saya ingin ngajak teman-teman buat ngelihat fenomena brain rot dari sudut pandang Sosiologi, terutama dari konsep gejala sosial.
Dalam Sosiologi, gejala sosial adalah fenomena atau peristiwa yang terjadi dalam masyarakat dan memengaruhi perilaku manusia. Bisa bersifat positif (kayak solidaritas sosial waktu bencana) atau negatif (kayak kecanduan gadget). Dan menurut saya, brain rot adalah gejala sosial baru era digital yang serius tapi sering kita anggap bercanda.
Fenomena brain rot ini muncul dan berkembang karena ada pola interaksi sosial yang berubah drastis. Di era digital, kita lebih banyak terhubung lewat media sosial ketimbang ngobrol langsung. Interaksi sosial jadi semakin cepat, instan, dan dangkal. Kita nggak lagi punya waktu buat berpikir dalam, karena semuanya harus serba cepat, lucu, dan viral.
Sosiolog klasik seperti Émile Durkheim pernah bilang bahwa perubahan sosial yang cepat bisa menyebabkan anomie, kondisi saat norma sosial jadi kabur, dan individu merasa kehilangan arah. Nah, bisa jadi brain rot ini adalah bentuk anomie digital, di mana kita kehilangan arah bukan karena kemiskinan atau keterasingan, tapi karena terlalu tenggelam dalam budaya konten yang cepat, ringan, dan tidak bermakna.
Kalau kita bongkar lebih dalam, ada beberapa faktor sosial yang memicu brain rot sebagai gejala sosial:
Kita hidup di zaman yang menuhankan produktivitas. Tapi ironisnya, kita malah makin kelelahan. Banyak dari kita akhirnya cari pelarian ke dunia maya buat “numbuhin dopamine murah” entah itu scrolling video lucu, meme absurd, atau konten aneh yang sebenarnya nggak penting. Brain rot muncul sebagai bentuk pelarian sosial dari tekanan produktivitas.
Di Sosiologi, ini bisa dikaitkan dengan konsep disorganisasi sosial, yaitu ketika struktur sosial nggak bisa lagi mengontrol perilaku individu secara efektif. Kita jadi bingung, harus ngikutin standar siapa? Standar orang sukses yang bangun jam 4 pagi? Atau standar orang rebahan 10 jam tapi jadi viral? Jadinya otak kita nyari jalan pintas buat numb, dan akhirnya rot.
Industri digital sekarang berlomba-lomba buat ngerebut perhatian kita. Konten yang absurd, lucu, atau aneh cenderung lebih viral karena sifatnya cepat dikonsumsi dan gampang dibagikan. Di sini, kita bisa ngelihat bahwa brain rot bukan cuma masalah individu, tapi bagian dari sistem kapitalisme digital.
Guy Debord, seorang pemikir Perancis, pernah memperkenalkan konsep masyarakat tontonan (society of spectacle), di mana kita lebih banyak “menonton” kehidupan daripada mengalaminya langsung. Media sosial bikin kita jadi penonton kehidupan orang lain, sambil mengonsumsi konten tak berhenti. Lama-lama, kita kelelahan secara kognitif, dan jadilah otak kita ‘busuk’.
Coba pikir: berapa banyak dari kita yang sekarang susah baca buku tapi bisa nonton video 15 detik selama 3 jam nonstop? Kita hidup dalam budaya pop yang serba instan dan mengutamakan hiburan. Identitas kita pun lama-lama dibentuk oleh algoritma, bukan oleh pengalaman hidup yang reflektif. Maka, brain rot adalah konsekuensi dari krisis makna dalam budaya populer.
Kalau ditanya, “Brain rot itu bahaya nggak sih?” Saya jawab: tergantung. Tapi kalau dibiarkan terus-menerus, ini bisa berdampak serius pada kehidupan sosial:
Otak yang terbiasa konsumsi konten receh jadi makin malas berpikir. Kita jadi gampang percaya hoaks, terpengaruh opini tanpa riset, dan gampang terdistraksi. Ini bisa mengganggu proses interaksi sosial yang rasional, apalagi dalam demokrasi digital seperti sekarang, di mana setiap orang bebas berpendapat.
Ironis banget. Kita makin sering online, tapi makin jarang ngobrol sungguhan. Brain rot membuat kita hidup di dunia simulasi, di mana yang penting bukan lagi keaslian, tapi performa. Kita jadi terasing dari dunia nyata. Ini mirip konsep alienasi sosial dari Karl Marx tapi versi digital.
Saat brain rot jadi budaya dominan, kita kehilangan rasa hormat terhadap pengetahuan dan proses berpikir. Budaya yang dulu menjunjung kreativitas dan intelektualitas berubah jadi budaya “siapa yang paling absurd, dia yang paling viral.” Ini menciptakan dekadensi, atau kemerosotan nilai-nilai budaya yang sehat.
Nggak semua. Saya nggak bilang kita harus hidup kayak biksu digital. Konten receh juga bisa jadi bentuk katarsis atau hiburan yang sehat, asal ada batasnya. Justru brain rot bisa jadi alarm bahwa kita butuh istirahat dari dunia yang terlalu menuntut kesempurnaan. Tapi kalau semua aspek hidup kita dipenuhi konten absurd, saatnya kita evaluasi.
Literasi digital bukan cuma bisa pakai HP, tapi tahu kapan harus berhenti. Kita perlu kemampuan buat menyaring konten, memilih yang berkualitas, dan paham dampaknya secara sosial. Ini bisa dimulai dari edukasi sejak sekolah, bahkan bisa dimasukkan ke dalam kurikulum Sosiologi.
Ngobrol langsung, berdiskusi, diskusi komunitas, nulis jurnal pribadi itu semua bisa bantu kita melawan efek brain rot. Karena manusia pada dasarnya butuh interaksi yang autentik, bukan sekadar likes dan views.
Kalau kamu suka bikin konten, jadilah bagian dari gerakan kecil melawan brain rot. Bikin yang meaningful tapi tetap relate. Humor dan makna nggak harus saling bertentangan. Dan sebagai penonton, kita juga punya tanggung jawab buat ngasih panggung ke konten yang mencerahkan, bukan cuma yang bikin otak makin bego.
Fenomena brain rot bisa kelihatan sepele, tapi kalau ditarik dari perspektif Sosiologi, ini adalah gejala sosial digital yang mencerminkan krisis identitas, makna, dan arah hidup dalam masyarakat modern. Kita nggak harus langsung berubah total, tapi bisa mulai dari kesadaran kecil: mengenali pola konsumsi kita, menyadari perubahan dalam diri, dan pelan-pelan belajar mindful digital living.
Jadi, kalau kamu ngerasa otakmu mulai “rot”, itu bukan berarti kamu lemah. Bisa jadi kamu cuma manusia biasa yang capek dan butuh pelukan atau minimal, butuh istirahat dari konten absurd selama satu hari. Itu aja dulu, nanti kita lanjut lagi diskusinya di dunia nyata (kalau nggak keburu scroll TikTok lagi).
Kalau kamu suka tulisan ini dan pengen bahas hal-hal absurd-tapi-serius lainnya dari kacamata Sosiologi, yuk mampir ke SmartSosiologi.com tempat di mana meme dan teori bisa akur dalam satu ruang!