Permasalahan Sosial
Pernah nggak sih kamu lihat atau ngerasain sendiri, kok kayaknya ada aja masalah antar kelompok di masyarakat? Mulai dari geng sekolah, fans K-Pop beda fandom, sampe isu yang lebih gede kayak suku atau agama. Nah, di bab ini kita bakal bedah tuntas kenapa hal itu bisa terjadi.
Sebelum jauh ngomongin masalah gara-gara kelompok, kita samain dulu persepsi soal “masalah sosial”. Nggak semua masalah pribadi itu otomatis jadi masalah sosial, ya. Kalau kamu putus cinta (duh!), itu masalah pribadi. Tapi kalau banyak banget anak muda putus sekolah karena nggak punya biaya, nah itu baru bisa jadi masalah sosial.
Biar makin paham, kita intip yuk definisi masalah sosial menurut beberapa sosiolog legend:
- Arnold Marshall Rose: Beliau bilang, masalah sosial itu kayak kondisi yang nggak sesuai sama nilai-nilai yang dianut banyak orang di masyarakat. Dan, orang-nrang ngerasa perlu ada sesuatu yang dilakuin buat ngubah kondisi itu.
- Contoh Gampang: Bayangin aja kalau di sekolah kita ada aturan dilarang buang sampah sembarangan (nilai kebersihan), tapi banyak banget yang masih cuek buang sampah di laci meja atau kolong bangku. Nah, kondisi jorok ini jadi masalah sosial di lingkup sekolah karena nggak sesuai nilai dan banyak yang ngerasa keganggu & pengen ada perubahan.
- Earl Raab & Jaeger Selznick: Menurut mereka, masalah sosial itu kondisi yang dirasain sama banyak orang sebagai sesuatu yang nggak enak (nggak diinginkan) dan dianggap perlu ada aksi bareng-bareng (kolektif) buat ngatasinnya.
- Contoh Gampang: Maraknya cyberbullying di media sosial. Banyak banget kan yang jadi korban atau saksi? Orang-orang ngerasa ini tuh nggak bener dan bahaya. Makanya muncul kampanye anti-bullying, fitur report di medsos, bahkan aturan hukum. Ini contoh aksi kolektif buat ngatasin masalah yang dirasain banyak orang.
- Richard and Richard (Sering dikutip di buku-buku): Mereka biasanya menekankan adanya gap atau kesenjangan antara kondisi yang ada (realita) dengan kondisi yang seharusnya (ideal) menurut masyarakat.
- Contoh Gampang: Idealnya, semua orang punya akses internet lancar buat belajar atau kerja. Realitanya? Masih banyak daerah yang sinyalnya susah atau harga kuota mahal banget. Kesenjangan antara harapan (internet lancar & murah) dan kenyataan ini jadi masalah sosial.
- Soerjono Soekanto (Sosiolog Indonesia, nih!): Pak Soekanto bilang, masalah sosial itu muncul karena ada ketidaksesuaian (mismatch) antara unsur-unsur kebudayaan atau masyarakat yang bisa membahayakan kehidupan kelompok sosial.
- Contoh Gampang: Masuknya budaya asing lewat K-Pop atau Western Culture itu keren, tapi kadang bisa ‘gak nyambung’ sama nilai lokal. Misalnya, cara berpakaian yang dianggap terlalu terbuka sama sebagian masyarakat, atau gaya hidup konsumtif yang bikin orang maksain diri. Ketidaksesuaian ini bisa bikin gesekan atau masalah di masyarakat.
Intinya dari semua definisi itu: Masalah sosial itu kayak “alarm” di masyarakat yang nunjukkin ada sesuatu yang nggak beres, dirasain banyak orang, nggak sesuai harapan/nilai, dan butuh tindakan bareng-bareng buat memperbaikinya.
Teori Tentang Masalah Sosial: Kacamata Beda Buat Ngeliat Masalah
Nah, para sosiolog punya cara pandang alias “kacamata” yang beda-beda buat ngeliat kenapa masalah sosial bisa muncul. Kita bahas 3 teori utama yang hits banget:
- Teori Fungsionalisme: Masyarakat Kayak Tubuh Manusia
- Gimana cara kerjanya? Teori ini ngeliat masyarakat kayak organ tubuh atau mesin yang kompleks. Setiap bagian (lembaga sosial kayak keluarga, sekolah, pemerintah, agama) punya fungsi masing-masing biar “tubuh” masyarakat tetap sehat dan seimbang.
- Masalah muncul kenapa? Masalah sosial terjadi kalau ada salah satu bagian yang nggak berfungsi (disfungsi) atau kerjanya keganggu. Kayak kalau jantungnya sakit, seluruh tubuh bakal ngerasain dampaknya. Bisa juga karena perubahan sosial yang terlalu cepat, bikin bagian lain kaget dan nggak siap adaptasi.
- Fokusnya: Stabilitas, harmoni, keseimbangan, dan gimana caranya biar semua bagian berfungsi normal lagi.
- Contoh Pop Culture: Bayangin tim Avengers. Mereka berfungsi bareng buat jaga kedamaian. Kalau salah satu anggota (misal Hulk ngamuk nggak kontrol) atau institusi pendukung (misal S.H.I.E.L.D disusupi Hydra) mengalami disfungsi, keseimbangan dunia terancam. Masalah muncul karena ada bagian yang nggak jalan sesuai fungsinya. Tujuannya? Balikin lagi keseimbangan tim/dunia.
- Teori Konflik: Dunia Ini Panggung Pertarungan!
- Gimana cara kerjanya? Beda banget sama Fungsionalisme, teori ini ngeliat masyarakat sebagai arena pertarungan kepentingan antara kelompok-kelompok yang punya kekuatan (power) beda. Selalu ada yang dominan (punya kuasa, kaya) dan yang subordinat (dikuasai, miskin).
- Masalah muncul kenapa? Masalah sosial itu hasil dari ketidaksetaraan dan konflik ini. Kelompok dominan biasanya bikin aturan atau sistem yang nguntungin mereka dan ngerugiin kelompok lain. Kemiskinan, diskriminasi, itu bukan “penyakit”, tapi konsekuensi logis dari sistem yang nggak adil.
- Fokusnya: Ketidaksetaraan, kekuasaan, eksploitasi, dan gimana konflik ini bisa mendorong perubahan sosial.
- Contoh Pop Culture: Film Parasite atau The Hunger Games. Di Hunger Games, Capitol yang kaya raya dan berkuasa (dominan) menciptakan sistem (permainan Hunger Games) yang menindas dan mengeksploitasi Distrik-distrik miskin (subordinat). Penderitaan Distrik (kemiskinan, ketakutan) adalah masalah sosial akibat sistem yang timpang dan penuh konflik kepentingan. Pemberontakan Katniss adalah bentuk konflik yang menuntut perubahan.
- Teori Interaksionisme Simbolik: Masalah Itu Apa Kata Orang
- Gimana cara kerjanya? Teori ini fokusnya ke interaksi sehari-hari antar individu dan gimana kita ngasih makna ke sesuatu lewat simbol (bahasa, gestur, label). Masyarakat itu dibentuk dari interaksi-interaksi kecil ini.
- Masalah muncul kenapa? Sesuatu jadi masalah sosial bukan karena kondisi objektifnya aja, tapi karena masyarakat ngasih label “masalah” ke kondisi atau perilaku itu. Proses defining atau labeling ini penting banget. Gimana orang ngomonginnya, gimana media ngeberitainnya, itu ngebentuk persepsi kita.
- Fokusnya: Makna subjektif, label sosial, definisi situasi, interaksi tatap muka (mikro).
- Contoh Pop Culture: Fenomena cancel culture di medsos. Suatu tindakan atau ucapan selebriti mungkin udah lama terjadi, tapi baru jadi “masalah” gede ketika banyak netizen yang ngebahas, ngasih label negatif (misalnya, “nggak sensitif”, “problematic”), dan menuntut pertanggungjawaban. Proses interaksi dan pemberian label inilah yang ngebuat suatu isu jadi masalah sosial. Atau, gimana dulu tato dianggap simbol premanisme (label negatif), tapi sekarang banyak diterima sebagai seni tubuh (perubahan makna lewat interaksi).
Tabel Ringkasan Teori Masalah Sosial
Teori | Tokoh Utama | Fokus Utama | Pandangan terhadap Masalah Sosial |
Fungsionalisme | Emile Durkheim, Talcott Parsons | Keseimbangan, Stabilitas, Fungsi Lembaga Sosial | Akibat disfungsi salah satu bagian/lembaga dalam masyarakat. |
Konflik | Karl Marx | Ketidaksetaraan, Kekuasaan, Konflik Antar Kelompok | Hasil dari pertarungan kekuasaan & eksploitasi oleh kelompok dominan. |
Interaksionisme Simbolik | George Herbert Mead, Erving Goffman
Charles H. Cooley | Interaksi Sehari-hari, Makna, Label Sosial | Didefinisikan & dikonstruksi melalui interaksi dan pemberian label. |
Bahasa Santainya:
- Fungsionalisme: “Kalau mesin (masyarakat) ada yang rusak, pasti ada masalah.”
- Konflik: “Kalau kelompok kuat nindas kelompok lemah, masalah muncul.”
- Interaksionisme Simbolik: “Kalau makna dari perilaku kita beda-beda tafsir, bisa ribut.”
Contoh Pop Culture:
- Fungsionalisme ➔ Broken system kayak sistem pendidikan yang berat sebelah, kaya di film Dilan 1990, pas Dilan dibeda-bedain sama guru.
- Konflik ➔ Pertentangan sosial kaya di series Squid Game — ketimpangan ekonomi ekstrim.
- Interaksionisme ➔ Salah paham makna simbol kayak emoji atau bahasa slang yang beda tafsir antar generasi.
Faktor Penyebab Masalah Sosial: Kenapa Sih Bisa Muncul?
Masalah sosial itu nggak muncul gitu aja kayak Cinderalla dapet sepatu kaca. Ada banyak faktor pendorongnya, Gengs:
- Faktor Ekonomi: Ini paling sering kita denger. Kemiskinan, pengangguran, kesenjangan pendapatan (si kaya makin kaya, si miskin gitu-gitu aja). Ini bisa memicu masalah lain kayak kriminalitas, putus sekolah, kesehatan buruk.
- Contoh: Susahnya cari kerja setelah lulus bisa bikin stres, bahkan ada yang nekat ngelakuin kejahatan karena butuh uang.
- Faktor Biologis: Ini terkait kondisi fisik manusia atau lingkungan. Misalnya, wabah penyakit (kayak COVID-19 kemarin, fix bikin masalah sosial gede kan?), gizi buruk yang meluas, cacat fisik yang bikin susah dapet kerja.
- Faktor Psikologis: Berhubungan sama kondisi kejiwaan atau pola pikir masyarakat. Misalnya, stres massal karena tekanan hidup, gangguan jiwa yang nggak tertangani, munculnya aliran sesat yang meresahkan, atau rasa insecure kolektif.
- Contoh: Tekanan ekspektasi sosial di medsos kadang bikin banyak orang cemas berlebihan atau depresi. Kalau ini dialami banyak orang, bisa jadi masalah sosial.
- Faktor Kebudayaan: Ini berkaitan sama nilai, norma, adat istiadat, atau teknologi dalam masyarakat. Misalnya:
- Konflik budaya: Nilai lama vs nilai baru (misal, perdebatan soal pernikahan beda agama).
- Perceraian & kenakalan remaja: Dianggap masalah karena nggak sesuai norma keluarga ideal.
- Perubahan teknologi & sosial: Munculnya hoax, cybercrime, kecanduan gadget. Teknologi maju pesat, tapi kesiapan mental & aturan sosial kadang ketinggalan.
Munculnya Permasalahan Sosial Akibat Pengelompokan Sosial: Nah, Ini Intinya!
Manusia itu zoon politicon alias makhluk sosial, kata Aristoteles. Kita auto bikin kelompok, mulai dari keluarga, teman main, circle hobi, sampe kelompok suku, agama, atau bangsa. Ngumpul sama yang ‘sefrekuensi’ itu emang enak dan penting buat identitas diri. Tapi, eh, ternyata pengelompokan ini juga bisa jadi sumber masalah. Kenapa?
- Kamanto Sunarto: Sosiolog Indonesia ini ngasih dua konsep kunci nih:
- Partikularisme: Sikap yang mentingin banget kepentingan kelompok sendiri di atas kepentingan umum atau aturan yang berlaku buat semua orang. Kayak mikir, “Yang penting geng gue aman/untung dulu, bodo amat sama yang lain.” Ini sering banget terjadi dalam bentuk primordialisme, yaitu loyalitas berlebihan ke kelompok berdasarkan ikatan darah, suku, daerah, atau agama.
- Contoh Partikularisme:
- Nepotisme: Ngasih jabatan atau proyek ke keluarga/teman dekat padahal banyak kandidat lain yang lebih যোগ্য (kompeten). Ini nggak adil buat yang lain, kan?
- Fan War Garis Keras: Fans K-Pop A garis keras bakal ngebelain idolanya mati-matian dan nyerang grup K-Pop B atau fansnya tanpa peduli bener salahnya. Pokoknya, grup/fandom gue paling bener!
- Tawuran antar sekolah/kampung: Hanya karena beda almamater atau wilayah, merasa kelompoknya paling hebat dan menganggap kelompok lain musuh.
- Eksklusivisme: Sikap yang cenderung nutup diri atau misahin diri dari kelompok lain. Mereka bikin batas yang jelas antara “kita” (in-group) dan “mereka” (out-group) dan males banget berinteraksi sama yang di luar kelompoknya. Kayak bikin ‘benteng’ gitu deh.
- Contoh Eksklusivisme:
- Kompleks Perumahan Super Elit: Kadang saking eksklusifnya, orang luar susah masuk, dan interaksi sama masyarakat sekitar minim banget. Ini bisa bikin kesenjangan sosial makin kelihatan.
- Geng atau Circle Tertutup: Di sekolah atau kampus, ada circle yang susah banget ditembus orang baru. Mereka cuma mau gaul sama yang ‘level’-nya sama atau se-tipe. Ini bisa bikin orang lain ngerasa dikucilkan.
- Echo Chamber di Medsos: Kita cenderung follow atau gabung grup yang isinya orang-orang sepemikiran. Akibatnya, kita jarang terpapar pandangan beda, jadi makin yakin sama pendapat sendiri dan gampang curiga sama ‘kelompok luar’.
- Gimana Partikularisme & Eksklusivisme Bikin Masalah?
- Kedua sikap ini, Gengs, itu toxic banget buat kehidupan sosial. Kenapa?
- Memicu Konflik: Kalau semua orang cuma mentingin kelompoknya (partikularisme) dan nggak mau bergaul sama yang beda (eksklusivisme), gesekan dan konflik gampang banget terjadi. Curiga, salah paham, sampe bentrok fisik.
- Menghambat Persatuan & Integrasi Nasional: Gimana mau bersatu kalau tiap kelompok sibuk sama urusannya sendiri dan nggak mau kenal sama yang lain? Bhinneka Tunggal Ika-nya bisa goyah, nih.
- Memperkuat Diskriminasi & Ketidakadilan: Partikularisme sering jadi dasar buat memperlakukan orang dari kelompok lain secara nggak adil. Eksklusivisme bikin kelompok minoritas makin terpinggirkan.
- Menghambat Pembangunan: Kalau alokasi sumber daya (dana, bantuan) didasarkan pada kedekatan kelompok (partikularisme), pembangunan jadi nggak merata dan nggak efektif.
- Pandangan Craig Storti (Ahli Komunikasi Antar Budaya): Walaupun fokus utamanya bukan masalah sosial secara umum, pandangan Storti relevan. Dia banyak ngebahas gimana perbedaan budaya antar kelompok (yang seringkali jadi dasar pengelompokan) bisa jadi sumber salah paham (miscommunication) dan konflik kalau nggak dikelola dengan baik. Kurangnya pemahaman tentang cara pandang, nilai, dan kebiasaan kelompok lain (akibat eksklusivisme) bisa bikin interaksi jadi canggung, nggak efektif, bahkan menyinggung, yang akhirnya bisa berkembang jadi masalah sosial.
Jadi, Gengs, ngumpul dan punya kelompok itu wajar dan penting. Tapi, kalau rasa kekelompokan itu jadi berlebihan (partikularisme) sampe nutup diri dari yang lain (eksklusivisme), hati-hati! Ini bisa jadi bibit masalah sosial yang serius, mulai dari konflik antar fans sampe perpecahan bangsa. Penting banget buat kita tetep jaga vibes positif, open minded, dan inget kalau kita semua hidup bareng di masyarakat yang beragam ini.
Gimana, Gengs? Udah mulai kebayang kan gimana pengelompokan sosial bisa nyambung ke masalah sosial? Materi ini penting banget biar kita makin aware sama dinamika di sekitar kita dan bisa jadi bagian dari solusi, bukan bagian dari masalah. Keep learning and stay critical!