Akulturasi: Ketika Dua Budaya Bertemu dan Nggak Ribut-Ribut Club
Pernah nggak sih kamu makan pizza tapi topping-nya rendang? Atau nonton anime tapi karakter utamanya ngomong pakai logat Medan? Nah, itu dia contohnya: budaya luar dan lokal ‘ngopi bareng’ tanpa ribut. Itulah akulturasi.
Apa Itu Akulturasi? Sini, Kita Kupas Bareng
Secara umum, akulturasi adalah proses sosial ketika dua kebudayaan atau lebih saling bertemu dan berinteraksi secara intens, lalu terjadi penyatuan unsur budaya tanpa menghilangkan identitas aslinya.
Definisi Akulturasi Menurut Para Tokoh:
- Koentjaraningrat (Antropolog & Sosiolog Indonesia):
Akulturasi adalah proses sosial yang terjadi ketika kelompok sosial dengan kebudayaan tertentu dihadapkan pada unsur-unsur dari kebudayaan asing, sehingga unsur-unsur asing itu lambat laun diterima dan diolah menjadi bagian dari kebudayaan sendiri tanpa menghilangkan kepribadian budaya asli. - Herskovits (1955):
Menurutnya, akulturasi adalah perubahan yang terjadi akibat kontak langsung dan terus-menerus antara dua kelompok budaya yang berbeda, yang menyebabkan terjadinya perubahan pola budaya pada salah satu atau kedua kelompok tersebut. - Redfield, Linton & Herskovits (1936):
Mereka menyatakan akulturasi sebagai proses fenomena yang timbul akibat pertemuan budaya yang berbeda, dan biasanya diikuti dengan perubahan dalam pola budaya asli dari salah satu atau keduanya.
Biar Gampang:
Bayangin kamu lagi dengerin musik dangdut, lalu tiba-tiba remix-nya masuk EDM. Kamu masih denger cengkok Melayu-nya, tapi beat-nya udah ala-ala festival musik elektronik. Budaya lokal tetap ada, tapi unsur luar juga hadir dan keduanya ‘ngakrab’.
Akulturasi vs Asimilasi: Mirip Tapi Beda Nasib
Kadang orang suka bingungin akulturasi sama asimilasi. Padahal, mereka beda nasib, kayak kisah cinta FTV.
Perbedaan | Akulturasi | Asimilasi |
Identitas budaya asli | Tetap dipertahankan | Luntur atau hilang |
Proses | Saling memengaruhi | Melebur jadi satu budaya baru |
Contoh | Musik dangdut koplo + K-Pop style | Bahasa Betawi yang menyerap banyak kata asing dan membentuk bentuk baru |
Jadi, kalau akulturasi itu kayak kamu belajar budaya Korea tapi tetap bangga jadi anak Jakarta. Tapi kalau asimilasi, kamu udah lupa cara main egrang karena keasyikan main skateboard terus budaya lokalnya menghilang.
Jenis-Jenis Akulturasi
Supaya makin paham, yuk kita kenalan dengan jenis-jenis akulturasi yang sering terjadi:
Akulturasi Substitusi
Unsur budaya lama diganti dengan yang baru, tapi fungsinya tetap sama.
Contoh: Dulu orang nusantara masak pakai tungku, sekarang pakai rice cooker. Masih masak nasi, cuma alatnya aja beda.
Akulturasi Sinkretisme
Dua unsur budaya digabung jadi satu bentuk baru.
Contoh: Wayang kulit versi Islam yang mengganti cerita Mahabharata menjadi kisah Wali Songo.
Akulturasi Penambahan (Addition)
Unsur budaya baru ditambahkan tanpa mengubah unsur lama.
Contoh: Pakaian adat tetap dipakai di upacara, tapi kadang dikombinasi sama aksesori modern kayak sepatu sneakers.
Akulturasi Penolakan
Saat unsur budaya baru ditolak karena dianggap bertentangan atau mengancam.
Contoh: Beberapa komunitas lokal menolak budaya Halloween karena dinilai tidak sesuai dengan nilai lokal/religius.
Akulturasi di Indonesia: Warisan Sejarah yang Masih Eksis Banget
Indonesia adalah salah satu negara yang paling kaya dengan praktik akulturasi. Bahkan dari zaman kerajaan sampai TikTok, akulturasi udah kayak makanan sehari-hari.
Sejarah:
- Candi Borobudur: Bukti akulturasi budaya India (Buddhisme) dengan budaya lokal Jawa.
- Masjid Menara Kudus: Bangunan masjid yang memadukan arsitektur Hindu-Buddha dan Islam.
Masa Kini:
- Kuliner: Pizza rendang, burger ayam geprek, ramen kuah soto.
- Musik: Aliran Hip Hop tapi pakai lirik Bahasa Jawa—siapa yang nggak kenal Jogja Hip Hop Fondation?
- Fashion: Desain kebaya modern dengan gaya K-Pop atau streetwear Jepang.
- Media Sosial: Influencer yang membawakan konten Korea tapi pakai logat Jawa atau Sunda (cont: YouTuber Korea Reomit yang belajar Bahasa Indonesia dan masuk TV nasional).
Akulturasi di Pop Culture Indonesia
Pop culture adalah panggung besar buat akulturasi. Coba perhatiin ini:
Film & Drama:
- “Wiro Sableng 212” (2018): Film lokal yang memadukan elemen superhero Barat ala Marvel dengan budaya silat Nusantara.
- “Noktah Merah Perkawinan”: Remake dari sinetron lawas 90-an, dikemas dengan gaya sinematografi Korea dan tema kontemporer yang lebih universal.
Musik:
- Weird Genius “Lathi”: Lagu EDM Indonesia yang viral banget, memadukan lirik Bahasa Inggris dan Jawa, dengan tarian dan visual tradisional-modern.
- Rich Brian: Rapper Indo yang go international tapi tetap nyelipin unsur lokal kayak makanan Indonesia dalam lirik atau wawancaranya.
Brand Lokal x Budaya Asing:
- Erigo di New York Fashion Week: Brand lokal Indonesia yang tampil di kancah internasional dengan koleksi yang tetap memuat motif-motif Nusantara.
- MS Glow x Korea: Skincare lokal yang memakai teknologi K-beauty tapi dikemas dengan narasi “Indonesia Bangga”.
Akulturasi dan Tantangannya
Walau akulturasi bisa memperkaya budaya, tetap ada tantangan yang harus dihadapi:
Ancaman Homogenisasi Budaya
Kalau terlalu banyak menyerap budaya luar tanpa filter, bisa-bisa budaya lokal malah dilupakan. Misalnya, anak-anak zaman now lebih hafal lagu K-Pop daripada lagu daerah.
Filter Budaya = Penting
Kita harus bisa menyerap budaya asing tapi tetap punya identitas. Caranya? Edukasi, pelestarian budaya, dan adaptasi kreatif kayak yang dilakukan oleh musisi, seniman, dan konten kreator lokal.
Akulturasi Itu Asik Kalau Tahu Caranya
Nah, gimana biar akulturasi bisa berdampak positif?
- Pahami Asal-usul Budaya Asing: Jangan asal ikut tren. Tahu konteks itu penting.
- Pelajari Budaya Lokal: Supaya bisa membandingkan dan menemukan titik temu.
- Kolaborasi Budaya: Kayak yang dilakukan banyak kreator—nggabungin budaya luar dengan lokal jadi karya yang unik.
Fun Fact Akulturasi di Indonesia
- Kata “serapah” dalam Bahasa Indonesia berasal dari Bahasa Sansekerta!
- Di Bali, umat Hindu tetap berdoa dengan tradisi lokal, tapi kitab suci dan nama dewa berasal dari India contoh akulturasi kepercayaan.
- Angklung pernah dibawakan dalam konser orkestra di Eropa, dimainkan bareng biola dan piano akulturasi musik kelas dunia!
Akulturasi Itu Bukan Sekadar Tren, Tapi Cerminan Dinamika Sosial
Akulturasi adalah bukti bahwa manusia itu makhluk sosial yang open minded. Kita bisa menyerap nilai dan budaya baru tanpa kehilangan jati diri. Yang penting, jangan sampai ikut-ikutan budaya luar tapi lupa rumah sendiri. Gitu lho, Gaes.
“Budaya bukan warisan nenek moyang yang harus dipertahankan apa adanya, tapi sesuatu yang hidup dan terus berkembang seiring zaman.” (parafrase dari Koentjaraningrat)