Pernah nggak sih kamu lihat dua orang temenan lama banget, lalu lama-lama cara ngomong, gaya pakaian, bahkan selera musik mereka jadi mirip? Nah, bayangin itu terjadi di level budaya. Itulah yang disebut asimilasi dalam sosiologi. Tapi tenang, ini bukan soal “budaya nyontek”, ya. Justru ini proses sosial yang alami, seru, dan kadang penuh drama juga.
Yuk, kita bahas asimilasi dengan gaya santai tapi tetap berbobot. Biar kamu bisa ngerti dan bisa bilang ke teman, “Eh, itu tuh contoh asimilasi, Bro!”
Apa Itu Asimilasi? Baru Denger Ya? Coba Baca Dulu!
- Soerjono Soekanto, dalam bukunya Sosiologi Suatu Pengantar, menjelaskan asimilasi sebagai proses sosial ketika dua kelompok atau lebih yang berbeda budaya saling berinteraksi dalam waktu lama, sehingga lambat laun perbedaan budaya itu menghilang dan terbentuk budaya baru yang menyatu.
- Gillin dan Gillin (1948) mendefinisikan asimilasi sebagai proses sosial yang terjadi bila individu atau kelompok dengan latar budaya berbeda berinteraksi secara intensif dan terus menerus, sehingga menghasilkan pola budaya baru yang menjadi milik bersama.
- Kimbal Young menambahkan bahwa asimilasi itu kayak “pernikahan” antara budaya: ada proses kompromi, adaptasi, dan pembauran bukan sekadar saling kenal, tapi juga saling nyatuin perbedaan.
Jadi, kalau akulturasi itu budaya A dan budaya B ketemu tapi tetap bawa ciri masing-masing, asimilasi justru menyatu dan membentuk identitas baru.
Ciri-Ciri Asimilasi: Mirip Pacaran yang Udah Beneran Serius
- Interaksi sosial yang intens dan terus-menerus.
- Adanya penerimaan satu sama lain.
- Muncul budaya baru yang berbeda dari budaya awal.
- Perbedaan lama-lama menghilang karena pembauran.
- Biasanya didukung faktor seperti pernikahan campuran, urbanisasi, atau kebutuhan ekonomi.
Contoh Asimilasi dalam Pop Culture dan Kehidupan Nyata di Indonesia
1. Kuliner: Siomay, Pempek, dan Mie Ayam
Mie ayam adalah asimilasi sempurna antara budaya Tionghoa dan Indonesia. Awalnya dari mie Cina, tapi disesuaikan lidah lokal ada sambal, kecap manis, bahkan pakai kerupuk.
“Lu jual mie ayam sama nasi goreng juga, Bang?”
percakapan di gerobak abang-abang dengan tingkat asimilasi bisnis tinggi.
2. Bahasa Gaul: “Cuy”, “Kamsahamnida”, “Mantul”
Kata-kata ini adalah hasil asimilasi dari berbagai bahasa: Inggris, Korea, dan lokal. Akibatnya? Bahasa sehari-hari Gen Z udah kayak Google Translate hybrid. Tapi ya, itu bukti interaksi budaya makin nyatu dan nge-blend.
3. Musik: Dangdut Koplo Remix K-Pop
Musik dangdut yang dulu dianggap lokal banget sekarang bisa ngeblend sama beat K-pop atau EDM. Contohnya lagu-lagu cover JKT48 versi koplo, atau remix DJ lokal yang viral di TikTok.
4. Fashion: Baju Muslim Tapi Korea Banget
Banyak anak muda sekarang pakai gamis atau hijab ala Korea. Desainnya simple, pastel, dan flowing. Ini hasil asimilasi antara nilai Islam lokal dan tren fashion global. Ujung-ujungnya: jadi identitas baru fashion Indonesia modern.
5. Film: “Nusa” vs “Upin Ipin”
Film Nussa adalah contoh asimilasi budaya agama dan teknologi animasi modern ala Pixar. Meski karakternya Muslim, gaya visual dan storytelling-nya bisa diterima global. Ini bukti bahwa budaya lokal bisa menyatu dengan global, asal dikemas keren.
Asimilasi di Kota-Kota Besar: Jakarta, Surabaya, Medan
Di kota besar, kamu bakal nemu yang namanya kampung campuran: Kampung Arab, Pecinan, Kampung Melayu, dan lainnya. Tapi, coba jalan-jalan ke mall atau nongkrong di coffee shop semua anak muda, apapun asalnya, gayanya udah mirip-mirip.
Contoh nyata:
- Pernikahan campuran Tionghoa dan Jawa: Anak-anak dari keluarga ini biasanya tumbuh dengan budaya gabungan yang utuh, mulai dari makanan, bahasa, sampai tradisi perayaan.
- Kampung Cina Benteng di Tangerang: Komunitas Tionghoa yang sudah menyatu dengan budaya Betawi, bahkan logatnya kadang nggak bisa dibedain.
Asimilasi vs Akulturasi: Sering Disangka Kembar Padahal Beda
| Aspek | Akulturasi | Asimilasi |
| Hasil akhir | Budaya baru, tapi budaya lama masih kelihatan | Budaya baru, budaya lama menyatu jadi satu |
| Contoh | Masjid Menara Kudus (arsitektur campur Hindu) | Mie Ayam, bahasa gaul “santuy” |
| Hubungan antarbudaya | Koeksistensi | Penyatuan total |
Ingat ya: Akulturasi = budaya kolaborasi, Asimilasi = budaya menyatu.
Faktor Pendukung Terjadinya Asimilasi
- Toleransi → Kalau nggak ada rasa saling menghargai, asimilasi nggak bakal jalan.
- Kesempatan ekonomi yang sama → Kalau satu kelompok didiskriminasi, mereka bakal menjauh, bukan membaur.
- Pendidikan terbuka → Generasi muda yang terbuka pada perbedaan lebih mudah berasimilasi.
- Perkawinan campuran (intermarriage) → Salah satu jalan tercepat asimilasi budaya.
- Kesamaan tujuan atau tantangan bersama → Contoh: kerja bareng dalam proyek sosial, bencana alam, atau bahkan fans klub bola.
Hambatan Asimilasi
- Diskriminasi dan stereotip → Bisa bikin kelompok merasa “tidak diterima”.
- Perasaan superioritas budaya → Kalau merasa budayanya paling oke, gimana mau nyatu?
- Konflik agama atau politik → Bisa bikin jurang yang dalam antar kelompok.
Asimilasi di Era Digital
Asimilasi zaman sekarang nggak cuma lewat interaksi langsung, tapi juga lewat media sosial dan konten digital.
- TikTok dan YouTube jadi ajang pertukaran budaya super cepat.
- Kamu bisa lihat konten bule yang nyantol banget sama budaya Indonesia, atau sebaliknya.
- Bahkan, ada YouTuber Jepang yang jadi terkenal karena bisa masak rendang dan ngomong medok: “Wong Jowo setengah samurai”, katanya.
Asimilasi Itu Bukan Ancaman, Tapi Proses Menjadi Lebih Kuat
Asimilasi bukan berarti kehilangan jati diri, tapi membentuk identitas baru yang lebih inklusif dan adaptif. Di Indonesia yang super beragam, asimilasi bikin kita bisa hidup bareng meski beda asal-usul. Kuncinya? Toleransi, keterbukaan, dan rasa saling ingin tahu.
“Asimilasi bukan soal siapa meniru siapa, tapi siapa yang mau belajar dari siapa.” (Koentjaraningrat)
Rangkuman Kilat (Biar Gampang Diinget)
- Asimilasi = pembauran budaya sampai jadi satu identitas baru.
- Terjadi karena interaksi intens dan keterbukaan.
- Banyak contoh di sekitar kita: makanan, fashion, bahasa, hingga TikTok.
- Tantangannya: diskriminasi, konflik, dan sikap tertutup.
- Solusinya: edukasi, empati, dan kolaborasi budaya.
Kalau kamu merasa hidupmu dikelilingi banyak “campuran budaya” tapi kamu enjoy aja, selamat! Kamu sudah jadi bagian dari proses asimilasi budaya modern.