
“Jarene wong-wong, si D itu anaknya nakal banget.”
“Katanya, dia pernah nyontek waktu ujian.”
Dua kalimat di atas mungkin terdengar sangat biasa di kehidupan sehari-hari kita. Tapi, kalau kamu telisik lebih dalam di situlah awal mula stigma sosial, stereotip, bahkan konflik bisa muncul.
Nah, dalam artikel ini kita bakal ngebahas tentang “jarene” atau “katanya” dari perspektif Sosiologi. Bukan sekadar obrolan warung kopi, tapi bagaimana kata-kata itu punya kuasa dalam membentuk realitas sosial kita. Siap? Gas!
Dalam bahasa Jawa, “jarene” artinya “katanya”. Sama kayak kita bilang, “Eh katanya sih dia pacaran sama anak kelas sebelah.”
Biasanya muncul waktu kita nyebarin info yang… yah, gak terlalu jelas sumbernya. Kadang dari temen, kadang dari grup WA emak-emak, atau dari netizen Twitter (sekarang X) yang belum tentu valid.
“Jarene” bisa jadi sekadar obrolan, tapi seringkali dianggap kebenaran dan itu masalahnya.
Indonesia dikenal dengan budaya kolektif, alias masyarakatnya suka guyub, komunal, dan cenderung nggak enakan. Salah satu efeknya, orang cenderung nyampaikan sesuatu secara tidak langsung. Termasuk saat ngomongin orang lain.
Daripada ngomong langsung, kita bilang, “Lho, aku cuma nyampein lho, katanya sih begitu…”
Padahal efeknya? Bisa lebih pedas dari sambal setan.
Sekarang kita masuk ke teori nih tapi tenang, nggak bikin pusing.
Dua tokoh sosiologi keren, Peter L. Berger dan Thomas Luckmann, ngenalin teori yang namanya The Social Construction of Reality.
Mereka bilang: realitas sosial itu nggak muncul gitu aja, tapi dikonstruksi bareng-bareng lewat interaksi sosial.
Artinya, kalau cukup banyak orang percaya satu hal, walaupun itu cuma “katanya”, hal itu bisa dianggap sebagai kenyataan. Bahkan kalau belum tentu benar.
Contohnya?
Sekarang kita kenalan sama Howard Becker, bapak Labeling Theory.
Menurut Becker, seseorang bisa dianggap “nakal”, “jahat”, atau “gagal” bukan karena dia begitu dari sononya, tapi karena label yang diberikan oleh masyarakat.
Label ini sering muncul dari “katanya”.
Misal:
“Katanya si B pernah ketahuan nyontek.”
Akhirnya, teman-temannya mulai jaga jarak. Guru jadi was-was. Bahkan si B bisa jadi percaya kalau dia emang ‘nakal’ dan makin bertingkah buruk.
Ini disebut self-fulfilling prophecy prediksi yang membuat dirinya jadi kenyataan.
Dalam sosiologi, kita belajar tentang sosialisasi, yaitu proses kita belajar norma dan nilai sosial.
Nah, “katanya” itu sering muncul dalam proses sosialisasi baik di keluarga, sekolah, media, atau lingkungan pertemanan.
Misalnya:
“Jangan main ke rumah itu, katanya keluarganya suka nyantet.”
“Katanya, artis X itu settingan biar viral.”
“Katanya, anak baru itu bawa masalah dari sekolah lama.”
“Katanya” menjadi bagian dari narasi sosial yang membentuk sikap dan perilaku kita terhadap orang lain.
Kita sekarang hidup di era post-truth, di mana perasaan dan opini lebih dipercaya daripada fakta objektif.
Kata Oxford Dictionary, post-truth itu kondisi di mana kebenaran objektif kurang berpengaruh dibandingkan emosi dan keyakinan pribadi.
Contoh real? Lihat berita hoaks di media sosial.
Misal:
“Katanya vaksin bikin mandul.”
Meski udah dijelasin sama pakar kesehatan, tetap aja ada yang percaya karena narasi “katanya” sudah terlalu kuat.
Nah, ini bagian pentingnya. Apa aja sih dampak dari budaya “katanya”?
Seseorang bisa dijauhi, dikucilkan, atau bahkan tidak diberi kesempatan karena label yang muncul dari “katanya”.
Dalam masyarakat yang belum melek informasi, “katanya” bisa memicu kepanikan massal. Contoh: panic buying minyak goreng cuma karena kabar burung.
Hubungan pertemanan, keluarga, bahkan komunitas bisa rusak karena gosip dan informasi tidak jelas sumbernya.
Kalau “katanya” terus-terusan dijadikan dasar, masyarakat jadi kehilangan kepercayaan satu sama lain. Curiga mulu.
Lalu, gimana solusinya?
Kita harus belajar cross-check, bukan cross-talk. Cek fakta sebelum percaya. Jangan asal sebar karena “katanya.”
Biasakan mikir:
“Ini beneran nggak sih?”
“Siapa yang ngomong?”
“Ada buktinya?”
Daripada percaya gosip, biasakan untuk tanya langsung. Klarifikasi bukan berarti nyolot, tapi menunjukkan rasa hormat terhadap kebenaran.
Ajari sejak dini pentingnya empati, tanggung jawab dalam berbicara, dan bahaya fitnah.
Ada tren di mana orang cerita aib orang lain dengan narasi “katanya dia tuh…” dan ending-nya malah nge-bully. Ini bentuk digital gossip yang sangat merusak.
Sering banget, artis dihujat karena berita yang belum tentu valid. Contoh: “Katanya selebgram X selingkuh.” Padahal belum ada bukti, tapi publik udah menjatuhkan hukuman sosial.
“Katanya” bisa jadi awal bencana sosial kalau tidak disaring dan dicerna dengan baik.
Dalam kacamata sosiologi, setiap informasi yang tidak berdasar tapi dianggap benar adalah bentuk kekuasaan simbolik yang bisa membentuk (atau menghancurkan) realitas sosial.
Jadi, sebelum kamu ngomong “jarene…”, tanya dulu:
“Jarene sopo?”,
“Beneran nggak sih?”,
“Apa efeknya kalau aku terusin?”
Karena dalam masyarakat yang sehat, kebenaran bukan dibangun dari bisik-bisik, tapi dari klarifikasi, edukasi, dan komunikasi.
“Kebenaran adalah produk sosial yang terus dinegosiasikan.” Berger & Luckmann
Mari bangun realitas sosial yang sehat, jujur, dan penuh empati. Bukan yang penuh “katanya”.