Di tengah nama-nama besar dalam dunia sosiologi Indonesia, ada sosok yang mungkin tak sepopuler tokoh-tokoh dari pusat, tapi justru menawarkan perspektif yang tak kalah berharga Manasse Malo. Seorang akademisi dan pemikir sosial dari Timur Indonesia yang membumi, humanis, dan tajam membaca realitas masyarakat di sekitarnya.
Siapa sebenarnya Manasse Malo? Dan bagaimana ia meletakkan jejaknya dalam dunia sosiologi Indonesia yang selama ini cenderung didominasi oleh wacana dari pusat?
Manasse Malo lahir pada 2 Mei 1941 di Waingapu, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur sebuah wilayah yang kaya budaya dan sejarah, namun seringkali terpinggirkan dalam diskursus nasional. Lingkungan sosial yang sarat dengan nilai kekeluargaan, tradisi adat, dan tantangan pembangunan menjadi latar yang membentuk cara pandangnya terhadap masyarakat.
Didikan keluarga serta pengalaman hidup di tengah komunitas yang erat menjadikannya peka terhadap ketimpangan sosial dan pentingnya pendekatan lokal dalam memahami perubahan sosial.
Perjalanan akademiknya membawa Manasse ke dunia pendidikan tinggi, di mana ia tidak hanya menjadi pengajar, tetapi juga seorang pemikir yang mencoba menjembatani teori sosiologi dengan realitas masyarakat lokal. Ia lama berkecimpung sebagai Guru Besar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (UI), di mana ia berperan aktif sebagai dosen, peneliti, sekaligus penggerak pemikiran kritis.
Sebagai seorang akademisi, Manasse dikenal tak sekadar mengajar dari balik meja. Ia hadir langsung di tengah masyarakat, melakukan riset partisipatif, dan memfasilitasi ruang dialog antara ilmu pengetahuan dan kearifan lokal.
Yang membuat pemikiran Manasse Malo istimewa adalah keberaniannya untuk tidak terjebak dalam kerangka teori Barat secara mentah-mentah. Ia menekankan pentingnya melihat masyarakat Indonesia terutama masyarakat adat Timur dengan pendekatan yang kontekstual dan empatik.
Beberapa tema yang sering ia angkat antara lain:
Dalam karyanya Metode Penelitian Sosial (1986), Manasse menulis tentang pentingnya memahami fenomena sosial melalui pendekatan yang sesuai dengan konteks lokal. Ia menekankan bahwa metode penelitian harus mampu menangkap realitas sosial yang ada, bukan sekadar menerapkan teori yang belum tentu relevan dengan kondisi setempat.
Bagi Manasse, ilmu sosiologi bukanlah alat untuk mendikte, melainkan jembatan untuk memahami. Ia menekankan bahwa perubahan sosial harus berpihak pada nilai-nilai lokal, bukan semata-mata mengejar kemajuan ala luar.
Warisan terbesar Manasse Malo bukan hanya terletak pada tulisan-tulisannya atau jabatan akademis yang pernah diembannya, melainkan pada semangat yang ia tularkan bahwa ilmu sosial harus membumi, menyentuh, dan relevan dengan kehidupan sehari-hari masyarakat.
Selain berkiprah di dunia akademik, Manasse juga terjun ke dunia politik. Ia ikut mendirikan Partai Demokrasi Kasih Bangsa (PDKB) dan pada 1999 terpilih menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, mewakili daerah pemilihan Kabupaten Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur.
Banyak mahasiswa dan kolega yang mengenangnya sebagai sosok yang hangat, kritis, dan inspiratif. Ia menjadi mentor yang tak hanya mengajarkan teori, tapi juga membentuk cara berpikir—tentang keadilan sosial, tentang menghargai budaya sendiri, dan tentang menjadi ilmuwan yang berpihak pada rakyat kecil.
Di era di mana wacana sosial kerap didominasi oleh suara dari pusat, tokoh seperti Manasse Malo mengingatkan kita akan pentingnya mendengar dari pinggiran. Ia menunjukkan bahwa ilmu sosial tidak hanya hidup di seminar-seminar ibukota, tapi juga tumbuh dalam percakapan di balai adat, di ladang, dan di ruang-ruang kuliah di Kupang.
Mengenal pemikiran Manasse Malo berarti belajar untuk membuka mata terhadap keragaman Indonesia bukan sekadar sebagai fakta geografis, tapi sebagai sumber kekayaan pengetahuan dan kebijaksanaan lokal.
Manasse Malo bukan sekadar akademisi dari Timur. Ia adalah jembatan antara ilmu dan kehidupan, antara teori dan realitas, antara pusat dan pinggiran. Pemikirannya masih relevan hari ini, ketika kita sedang mencari cara memahami Indonesia yang begitu kompleks dan beragam.
Sudah saatnya kita memberi ruang lebih besar bagi suara-suara dari daerah karena dari sanalah, seringkali, muncul kebijaksanaan yang paling jujur dan membumi.