
Siapa bilang ilmu sosiologi itu hanya teori-teori kaku? Di balik ilmu yang membahas masyarakat ini, ada dua tokoh hebat Indonesia yang tak hanya membuat sosiologi “hidup”, tapi juga menjadikannya alat untuk memahami negeri sendiri: Selo Soemardjan dan Soleman B. Soemardi.
Dalam tulisan ini, kita akan mengulik siapa mereka sebenarnya, apa saja kontribusinya, dan kenapa nama mereka masih terus disebut dalam dunia ilmu sosial Indonesia hingga hari ini.
Selo Soemardjan lahir di Yogyakarta, 23 Mei 1915. Ia tumbuh dalam lingkungan priyayi Jawa yang sangat menghargai pendidikan dan pengabdian. Sebelum dikenal sebagai ilmuwan sosial, ia sempat menjadi Patih (asisten Bupati) di Yogyakarta dan bekerja dekat dengan Sri Sultan Hamengkubuwono IX, terutama saat masa-masa awal kemerdekaan Indonesia.
Selo melanjutkan studinya ke Amerika Serikat dan meraih gelar Ph.D. dari Cornell University. Disertasinya yang fenomenal, “Social Changes in Yogyakarta”, menjadi karya klasik yang masih dikaji hingga kini. Melalui karya ini, ia menggambarkan bagaimana masyarakat berubah akibat revolusi, pembangunan, dan dinamika politik.
Tak berhenti di dunia akademik, Selo juga terjun ke birokrasi: dari Ketua LIPI, Direktur LAN, hingga Duta Besar Indonesia untuk Swedia. Tapi, sumbangsih terbesarnya tetap di dunia pendidikan, khususnya ketika ia mendirikan Jurusan Sosiologi di Universitas Indonesia dan menjadi sosok sentral dalam pengembangan ilmu sosial di tanah air.
Berkat pemikiran dan perjuangannya, Selo Soemardjan dijuluki sebagai Bapak Sosiologi Indonesia. Ia menjadi inspirasi bagi banyak akademisi dan peneliti muda. Ia wafat pada 11 Juni 2003, tapi gagasan dan pengaruhnya tetap abadi.
Soleman B. Soemardi, lahir pada awal tahun 1930-an, adalah sosok akademisi yang penuh dedikasi. Ia merupakan rekan intelektual Selo Soemardjan dan bersama-sama mengembangkan fondasi keilmuan sosiologi di Indonesia. Ia adalah tipikal guru sejati: senyap tapi berdampak besar.
Setelah menempuh pendidikan di Universitas Indonesia dan melanjutkan ke luar negeri, Soemardi kembali untuk mengabdi sebagai dosen dan peneliti di FISIP UI. Ia dikenal sangat tekun dalam mengembangkan kurikulum, metode pengajaran, dan pendekatan sosiologis yang relevan dengan realitas Indonesia.
Soleman memperkenalkan teori-teori besar seperti struktural fungsionalisme dan teori konflik ke dalam konteks lokal. Ia juga aktif menulis dan mengembangkan pendekatan sosiologi yang lebih membumi. Salah satu karya terkenalnya adalah buku “Setangkai Bunga Sosiologi”, yang banyak dijadikan buku ajar di berbagai perguruan tinggi.
Soemardi adalah tipe akademisi yang tak banyak bicara di media, tapi pengaruhnya terasa kuat di ruang-ruang kelas, buku-buku, dan pemikiran mahasiswanya. Ia dikenal sebagai pemikir yang rendah hati dan seorang pendidik sejati.
Selo Soemardjan dan Soleman Soemardi bukan hanya dua nama dalam sejarah sosiologi. Mereka adalah arsitek keilmuan sosial di negeri ini. Mereka membuktikan bahwa sosiologi bisa menjadi alat untuk membaca perubahan, memahami masyarakat, dan bahkan merumuskan kebijakan publik yang berpihak pada rakyat.
Kini, saat Indonesia dihadapkan pada berbagai tantangan sosial seperti ketimpangan, urbanisasi, hingga disrupsi digital, pemikiran kedua tokoh ini justru semakin relevan. Tugas kita bukan hanya mengenang, tetapi meneruskan semangat mereka untuk menjadikan sosiologi sebagai ilmu yang tak hanya dipelajari, tapi juga digunakan untuk membangun masa depan.